Kembali |
Nomor Perkara | Pemohon | Termohon | Status Perkara |
1/Pid.Pra/2024/PN Psb | RAMLAN | Pemerintah Republik Indonesia CQ Presiden Republik Indonesia CQ Kepala Kepolisian Republik Indonesia CQ Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Barat CQ Kepala Kepolisian Resort Pasaman Barat | Minutasi |
- Data Umum
- Penetapan
- Jadwal Sidang
- Saksi
- Putusan
- Riwayat Perkara
A PHP Error was encountered
Severity: Notice
Message: Undefined variable: penghentian_perkara
Filename: detil_perkara/detil_perkara.php
Line Number: 159
Tanggal Pendaftaran | Selasa, 02 Jan. 2024 | ||||
Klasifikasi Perkara | Sah atau tidaknya penghentian penyidikan | ||||
Nomor Perkara | 1/Pid.Pra/2024/PN Psb | ||||
Tanggal Surat | Selasa, 02 Jan. 2024 | ||||
Nomor Surat | - | ||||
Pemohon |
|
||||
Termohon |
|
||||
Kuasa Hukum Termohon | |||||
Petitum Permohonan | Adapun alasan-alasan PEMOHON dalam mengajukan PERMOHONAN PRAPERADILAN ini adalah sebagai berikut :
Pengadilan Negeri Berwewenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang – undang ini tentang :
Penghentian Penyidikan dan Penuntutan ( SP3 ) yang diterbitkan oleh Kepala Kepolisian Resor Pasaman Barat dengan nomor : SPPP/203/XI/2023/Reskrim, tertanggal 22 November 2023 TIDAK SAH dikarenakan Tanda Bukti Lapor pada Markas Kepolisian Resor Pasaman Barat nomor : STTLP/333/V/2020 -SPKT -RESPASBAR tertanggal 16 September 2020 DIDUGA KUAT MERUPAKAN TINDAK PIDANA
Pasal 406 KUHPidana ( wetboek van strafrecht ) berbunyi : “ Barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum membinasakan, merusak, membuat sehingga tidak dapat dipakai lagi atau mehilangkan sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya kepunyaan orang lain, dihukum penjara selama- lamanya 2 ( dua ) tahun 8 ( delapan ) bulan “ Unsur – unsur yang terdapat dalam pasal 406 KUHP ( wetboek van stranfrecht ) tentang pengerusakan tanaman adalah :
Barang siapa (hij die) adalah Pelaku atau subjek tindak pidana. Kata ini menunjukkan bahwa siapa saja dapat menjadi pelaku/subjek tindak pidana pada manusia semata-mata, sebagaimana dikemukakan oleh Teguh Prasetyo bahwa, “rumusan tindak pidana dalam buku kedua dan ketiga KUHP biasanya dimulai dengan kata barang siapa. Ini mengandung arti bahwa yang dapat melakukan tindak pidana pada umumnya adalah manusia”. Jadi, kata barang siapa itu juga menunjukkan bahwa manusia siapa saja dapat menjadi pelaku atau subjek tindak pidana, tetapi badan hukum atau juga koorporasi, bukan pelaku/subjek tindak pidana dalam sistem KUHP. Bahwa pada dasarnya kata “barangsiapa” adalah merujuk kepada siapa orangnya yang harus bertanggung jawab atas perbuatan/kejadian yang disangkakan itu atau setidak-tidaknya mengenai siapa orangnya yang menjadi Tersangka didalam perkara ini. Tegasnya kata “barangsiapa” menurut putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor :1398 K/Pid/1994 tanggal 30 Juni 1995 identik dengan “setiap orang” atau “Hij” sebagai siapa saja yanng harus dijadikan Terdakwa/dader atau setiap orang sebagai subjek hukum (pendukung hak dan kewajiban) yang dapat diminta pertanggung jawaban atas segala tindakan yang dilakukannya; Bahwa unsur barangsiapa ini melekat pada setiap unsur tindak pidana, oleh karenanya ia akan terpenuhi dan terbukti apabila semua unsur tindak pidana dalam delik tersebut terbukti dan pelakunya dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, maka unsur ini akan dipertimbangkan setelah unsur kedua terpenuhi.
Pengertian kesengajaan (Bld.:opzet;Lat.:dolus) dijelaskan oleh E. Utrecht bahwa, “menurut memorie van toelichting, maka kata ‘dengan sengaja’ (opzettelijk) adalah sama dengan ‘willens en wetens’ (dikehendaki dan diketahui)”. Jadi menurut risalah penjelasan terhadap KUHP Belanda, suatu perbuatan dilakukan dengan sengaja jika perbuatan itu dilakukan dengan dikehendaki dan diketahui. Sekarang ini, kata ”dengan sengaja” (opzettelijk) itu telah mencakup tiga macam kesengajaan, yaitu :
Berkenaan dengan penggunaan unsur “dengan sengaja” dalam buku kedua (kejahatan) Bab XXVII (menghancurkan atau Merusakkan Barang), oleh S.R. Sianturi dikatakan bahwa : di Bab XXVII Buku II KUHP diatur tentang delik menghancurkan atau merusakkan sesuatu barang. Pada dasarnya delik ini adalah delik sengaja, kecuali untuk barang-barang tertentu (tersebut Pasal 409) yang digunakan untuk umum. Ini berarti jika kehancuran/kerusakan itu terjadi karena suatu ke alpaan, maka penyelesaiannya adalah di bidang hukum perdata atau di bidang hukum administrasi. Untuk yang terakhir ini, jika barang tersebut milik pemerintah. Bahwa yang dimaksud dengan “sengaja” adalah perbuatan tersebut dilakukan dalam keadaan sadar dan ada niat untuk melakukannya karena akibat dari perbuatannya itu memang dikehendaki olehnya dan yang dimaksud dengan “melawan hukum” adalah perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang, adapun perbuatan tersebut adalah memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain. Sedangkan perbuatan menghancurkan, merusak, membuat tak dapat dipakai atau menghilangkan sesuatu barang bukan merupakan tujuan dari si pelaku melainkan sebagai bentuk pelampiasan oleh karenanya keinginan atau pun tujuan si pelaku tidak terpenuhi.
Dalam Pasal 406 ayat (1) KUHP, melawan hukum merupakan suatu unsur tertulis. Tentang pengertian dari kata “melawan hukum” (wederrechtelijk) dalam hal merupakan unsur tertulis dikatakan oleh D. Simons, sebagaimana dikutip oleh P.A.F. Lamintang, bahwa, “menurut anggapan umum, nahwa pengertian yang lain daripada ‘tanpa hak sendiri’ (zonder eigen recht)”. Jadi, pegertian melawan hukum sebagai unsur dari Pasal 406 ayat (1) KUHP yaitu pelaku atau subjek tidak berhak atau tidak mempunyai hak untuk berbuat demikian
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal ini menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang telah terjadi dan guna menemukan tersangkanya;
“…c. bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu di bidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai dengan undang-undang dasar 1945…”
“…Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum…”
“…(1) setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi…”
“Setiap Anggota Polri wajib:
Kriteria penghentian kasus tersebut adalah :
Hal.7/Prapid/Ppb – AV/Pdt/2023
Apabila dalam Hukum Acara Pidana tidak mengatur mengenai adanya lembaga koreksi yang dapat ditempuh oleh seseorang, maka hal tersebut tidak berarti kesalahan TERMOHON tidak boleh dikoreksi, melainkan kesalahan tersebut harus dikoreksi melalui Lembaga Peradilan dalam hal ini adalah Lembaga Peradilan, yang dibentuk untuk melindungi hak asasi seseorang dari kesalahan/ kesewenangan yang dilakukan oleh penegak hukum dalam hal ini adalah TERMOHON. Tentunya Hakim tidak dapat menolak hanya dengan alasan bahwa karena tidak ada dasar hukumnya atau karena tidak diatur oleh Perundang-undangan. Dalam hal ini peranan Hakim untuk menemukan hukum memperoleh tempat yang seluas-luasnya. Hal ini di amanatkan dalam Pasal 10 ayat 1 dan Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 10 ayat 1 “ Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas melainkan wajib memeriksa dan menggalinya”.
Pasal 5 ayat 1 “ Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Dengan dihentikannya Penyidikan dan Penuntutan (SP3) yang tidak dilakukan berdasarkan hukum/tidak sah, jelas menimbulkan hak hukum bagi seseorang untuk melakukan upaya hukum berupa koreksi atau pengujian terhadap keabsahan melalui Lembaga Peradilan, hal ini di jamin dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang berbunyi : “ Setiap orang tanpa diskriminasi berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi, serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar”. |
||||
Pihak Dipublikasikan | Ya |